Minggu, 07 September 2014

Refleksi


Untuk postingan yang ke sekian. Sudah lama rasanya jemari ini tak mengetikan kata. Merangkai menjadi kesatuan paragraf lalu menjadi cerita atau hanya sekedar ocehan yang tertulis saja. Berkomentar segala , tentang diri, sekitar, tau bahkan yang tak ada hubungannya dengan diri.
Manusia memang hidup untuk bercerita dan melakoninya. Menjalani proses yang tak pernah tau ujungnya akan seperti apa dan bagaimana. Basi memang membicarakan hal semacam ini, seperti para motivator yang selalu ceramah soal masa depan dan visi ke depan. Menjual harapan kepada para pesertanya, berusaha menggugah hati sampai membuat mereka merasa sedih. Saya pikir mereka tipe omong besar saja rata-rata. Atau hanya pemimpi yang berani menual kata dan harapan. Atau mungkin merekalah ‘Pemberi Harapan Palsu’ Yang sebenarnya. Haha skip.
Tapi kadang bercerita atau berkomentar mengenai hal yang bukan tentang kita, adalah seseuatu yang mengasyikkan dan wajar sesekali di lakukan dalam batas wajar.

***

Refleksi kehidupan, ah banyak bicara kehidupan sebagai filosofis semata, berlomba membuat kata seindah mungkin sebagai gambaran kehidupan. Sembari berdebat pandangan mereka. Tak ada yang salah atau pun benar. Kita bebas mengartikan hidup sebagaimana kita mampu memahaminya. Bebas memaknai setiap detik yang berjalan ataupun. Detik di depannya.

***

Pernahku jatuh dalam lubang yang mungkin tak ada satupun yang ingin terjebak di dalamnya. Dingin menusuk dan membuat sakit kepala. Tapi aku jatuh di dalamnya, lubang yang akhirnya memberi arti tersendiri. Yang akhirnya membuat refleksi diri terhadap yang telah di jalani. Sebuah perjalanan memang harus mempunyai gelombangnya sendiri. Punya naik dan turunnya sendiri. Lalu apa yang akan di lakukan bila  sudah jatuh ke lubang, itu lah penentu kau kedepannya.

Dan repress saja segalanya. Itu yang dulu yang ku lakukan, membuat topeng untuk orang sekitar. Meyakinkan bahwa semua baik-baik saja, membuat keadaan sebagaimana layaknya yang lainnya. Dan sungguh mereka mengira begitu. Haha.
Dan berdialog lah dengan segala. Mencoba memahami, bangkit dan sungguh proses itu tak pernah mampu ku utarakan dengan cerita atau bahkan kata. Tak sepedih yang di kira, namun tak semudah yang terbayang pula.

***

Dan datanglah ia yang entah darimana. Membawa harapan dan hal yang tak pernah kudapat. Berawal dari sebuah titipan yang tak di sengaja, lalu pertemuan pertama yang menentukan. Kemudian berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya membawa kita tuk saling tukar cerita, memberi ruang tuk memahami satu sama lain.

Lalu di siang itu kau panik, ada bahaya mendekat dan kau sedang sendiri di sana. Segera kupacu kuda besiku yang tak berfikir lagi apa yang ku tinggalkan. Yang terfikir adalah menyelamatkanmu dan tak peduli harus bagaimana aku. Aku mencari sesosok yang ku kenal dalam beberapa minggu lalu. Dan kau sendiri, duduk meringkuk dingin di bawah atap tumbuhan merambat. Basah dan kau takut. Ku hampiri sembari mencari sumber bahaya itu dan kau katakan bahwa ia telah pergi. Spontanitas yang tak terfikir olehku, ku peluk engkau, membagi dingin yang kau rasa, sungguh tak ingin melihatmu begini. Biar kita saling menjaga dari dingin sembari jemari bertaut di antaranya.  Dan katamu “tak apa, aku suka hujan, seolah hujan melunturkan segala penat dan masalah itu”. Si wanita hujan yang memilih hujan dan sunyi sebagai teman, dan kau begitu larut dalam setiap tetes yang jatuh di kepala dan tubuhmu yang basah. Tak peduli dingin menyerang. Biar ku jaga dirimu wanita hujan.

Dan entah bagaimana kita mulai merangkai cerita kita sendiri. membiarkan larut dalam arus yang, kita pun sudah tak peduli dengan sekitar, hanya ‘kita’, kata, dan rasa.

***

Dan kan ku kisahkan pada kalian tentang proses sebenarnya. Bahwa hidup bukan soal dan selalu tentang akhir dan pencapaian yang membanggakan. Karena manusia tak akan pernah puas pada apapun, tak akan pernah. Sekalipun dunia ini di kuasai. Mungkin sedikit menggurui dengan usia yang masih terlalu dini untuk berkisah soal proses kehidupan. Kencur katanya. Tapi apa salahnya berbagi bukan?

Dan tamparan keras dari orang terkasih pun pernah di rasakan, ketika kalut menguasai. Ketika kita tak menjadi diri sendiri. ketika kita tak di kenali sebagai diri yang sebenarnya. Ketika ambisi menguasai pikiran dan gerakan tubuh ini. Seolah di anggap benar saja pemikiran ini. Dan tamparan keras itu melayang tepat di muka. Keras menghantam hingga membuat sadar. “tak sadarkah kau, sudah pernah kau jatuh dalam dunia lain yang sebelumnya, dan kini kau mencoba berambisi dan akan jatuhlah dirimu lebih keras lagi. Lebih baik ku tampar dirimu saat ini, dari pada kau menjadi orang sudah tak ku kenal lagi. Dan aku hanya tak ingin kau menghilang perlahan hanya karena ambisi”.  *Plak. Melayang tepat di muka. Aku jatuh. Linglung sekaligus mulai tersadar.

***

Dan ku tinggalkan dunia ku perlahan, ku lepas semua rutinitas yang menjadi kebiasaanku di masa lalu, yang secara tak langsung sebagai bentuk pelampiasanku. Ku tinggalkan semua ambisi yang bahkan tak akan membuahkan hasil baik bagiku di masa depan. Dan terbukalah mataku. Mempunyai satu tujuan yang lebih pasti, mempunyai alasan tuk berjuang dan bangkit dari keterpurukan perlahan.  Dan serasa hidup kembali dalam dunia baru.

Selama kau ada di sini. Kau lah alasanku tuk berjuang.


Dan aku hanya ingin terus menikmati senja sampai malam, sembari minum kopi atau teh di pinggir pantai atau taman. Mengoceh semaunya, mengocehnya sejadinya, mengoceh hal yang bukan tentang kita sampai hal yang serius bagi kita. Mulut yang tak pernah berhenti cerita. Atau malah engkau lah cerita itu. Tidak. Cerita itu kita. 

Senin, 07 April 2014

Bahagia itu sederhana

Wanita ini selalu berhasil membuat saya terperanga membuat kelopak mata saya tak berhenti menatap nya.
Pada hari itu saya tak pernah menyangka dan menduga. Saya menganggap bahwa hari kelahiran saya bukan hal terlalu istimewa dan di rayakan terlalu berlebihan.
Hanya menganggap bahwa perlu renungan dalam diri saya yang tepat sudah 20 tahun melakoni peran sebagai manusia di bumi. Sebagai anak dan kakak dari keluarga kecil saya di rumah. Sebagai teman dan sahabat.  Sebagai kekasih dari seorang wanita yang tak hentinya membuat saya terperangah.

Dan tepat pula 11 bulan kisah kita berjalan. Mulus yang tampak di mata mereka. Mereka tak tau apa yang sebenarnya terjadi sayang. Mereka juga kadang seenak lidah mereka menghujat. Sungguh mereka tak tau gejolak kita dan Sungguh betapa mereka tak tau kuatnya kita. Buktikan perlahan bahwa mereka tak perlu ikut campur terlalu dalam jika hanya dan selalu memberi tatapan sinis dan percaya.

***

Dan di senja itu kau datang.  Membawa senyum sumringah khas dirimu. Kau turun perlahan dan membiarkan aku terpaku untuk sejenak meyakinkandiri. Itukah dirimu? Yang berjalan perlahan menuruni tangga dengan membawa sekeranjang cinta di tangan. Lagi-lagi kau membuat ku terperangah.  Kau piawai bermain sandiwara sayang, berhasil meyakinkan diriku, bahwa aku akan melewati hari ini dengan kesunyian yang sudah biasa ku terima setiap tahunnya.

***

Wahai wanitaku. Sungguh anugerah telah ku terima di depan mataku.melihat binar yg selalu bisa menenangkan. Banyak hal yang kita rangkai bersama, kita rancang bersama.  Dan semua baru akan di mulai. Kau anugerah yang sungguh tak mampu ku tolak. Akan ada banyak cerita menanti kita di depan sana. Ada banyak angan yang menunggu untuk kita capai bersama.

***

Terima kasih untuk segalanya
Terima kasih pula untuk hal yang spesial di beberapa hari lalu. 
Kebahagiaan itu sungguh sederhana.  Iya sederhana.
Sesederhana saat kita bincang santai di tepi kolam atau sekedar berbagi teh hangat saat hujan menghajar kita di 18 april 2013 lalu.

Dan sungguh aku ingin mencintaimu dengan sederhana.  Sesederhana hujan menuju senja.









Febri arif
Jakarta, 31-03-2014

Open Panel

anda pembaca ke