Seberapa butuhkah manusia akan tahta, bila akhirnya liang
lahat yang jadi akhirnya. Terlalu banyak kemunafikan yang di tampakkan dalam
proses perebutan tahta, entah dari pencitraan, bersekutu, strategi, bermain
politik. Bahkan yang kebih buruk akan ada selalu korban bila kita masih ‘haus’
tahta.
Orang sekitarmu lah yang pertama kali merasa imbas nya. Mereka
– mereka yang tak sadar dan mengerti apa geojalk dalam dirimu, ketika kau terus
berkutat dengan jalur-jalur yang muncul dalam otakmu, membentuk simpul rumit
dan tak berujung, hingga kemelut makin membelenggumu dalam malam hingga tak kau
sadari ada segumpal hati yang berbicara lirih dan serasa ingin berteriak di
balik simpulan jalur yang rumit.
Sudah habis asaku,
sudah cukup rasaku, sudah kikis pikiranku, dan sudah menipis harapanku. Dan belenggu
aku dalam carut marut hidupku. Atau bunuh aku dalam imajimu, karena aku sebatas
bait puisi yang berjalan dengan nyawa dan rasa yang tak pernah kau mengerti,
aku lah bait puisi berjalan.
***
Dan manusia selalu di persimpangan pilihan, tentang
kehidupan yang semakin kejam dan tak kenal kawan atau lawan. Pilihan yang
semakin mendesak, ada tuntutan yang membuat kau berubah perlahan, tentang
sikap, sifat. Dan kau kan menjadi manusia tak berperasa, hanya bertopeng saja.
terkukung dalam baris kata penghasut atau lisan tajam menusuk. Lantas kau hidup
seperti abu-abu persimpangan hitam dan putih. Bukan sebagai manusia bebas tanpa
topeng dan hasut.
***
Dan aku jengah dengan kemunafikan. “Aku mau hidup seribu tahun lagi”
-----------------------------------------------------------------------------------
(Di buat tanpa intervensi, melainkan dengan rasa dan hati)
F.A.B
0 komentar:
Posting Komentar