Sabtu, 16 November 2013

Dan aku (Sebait puisi berjalan)

Seberapa butuhkah manusia akan tahta, bila akhirnya liang lahat yang jadi akhirnya. Terlalu banyak kemunafikan yang di tampakkan dalam proses perebutan tahta, entah dari pencitraan, bersekutu, strategi, bermain politik. Bahkan yang kebih buruk akan ada selalu korban bila kita masih ‘haus’ tahta.

Orang sekitarmu lah yang pertama kali merasa imbas nya. Mereka – mereka yang tak sadar dan mengerti apa geojalk dalam dirimu, ketika kau terus berkutat dengan jalur-jalur yang muncul dalam otakmu, membentuk simpul rumit dan tak berujung, hingga kemelut makin membelenggumu dalam malam hingga tak kau sadari ada segumpal hati yang berbicara lirih dan serasa ingin berteriak di balik simpulan jalur yang rumit.
 
Sudah habis asaku, sudah cukup rasaku, sudah kikis pikiranku, dan sudah menipis harapanku. Dan belenggu aku dalam carut marut hidupku. Atau bunuh aku dalam imajimu, karena aku sebatas bait puisi yang berjalan dengan nyawa dan rasa yang tak pernah kau mengerti, aku lah bait puisi berjalan.

***

Dan manusia selalu di persimpangan pilihan, tentang kehidupan yang semakin kejam dan tak kenal kawan atau lawan. Pilihan yang semakin mendesak, ada tuntutan yang membuat kau berubah perlahan, tentang sikap, sifat. Dan kau kan menjadi manusia tak berperasa, hanya bertopeng saja. terkukung dalam baris kata penghasut atau lisan tajam menusuk. Lantas kau hidup seperti abu-abu persimpangan hitam dan putih. Bukan sebagai manusia bebas tanpa topeng dan hasut.

***


Dan aku jengah dengan kemunafikan.  “Aku mau hidup seribu tahun lagi”

 -----------------------------------------------------------------------------------
(Di buat tanpa intervensi, melainkan dengan rasa dan hati)
F.A.B

0 komentar:

Posting Komentar

Open Panel

anda pembaca ke