Senin, 28 Januari 2013

Secarik memo, teruntuk ibu


Ku lihat peluh mu yang terus mengalir, bersama dengan keringat yang kau sembunyikan. Lelahmu kau pendam, senyum kau pancarkan. Kau hanya ingin anak mu ini merasa nyaman di dekatmu.

Mungkin aku yang telah lancang, telah menyita sebagian waktuku tuk berbagi dengan duniaku di luar sana, mengkhawatirkan segala bentuk kegiatan yang membuatku lupa tentangmu, ibu. Terlampau menikmati dunia yang kini ku naungi, beranjak hanya seorang mahasiswa biasa, melakoni semua alur akademika dengan jalan yang semestinya. Namun semua perlahan berubah, sedikit demi sedikit aku terbawa arus organisasi. Nyaman ku dapat dari atmosfer di luar sana, membawa rasa ingin tahu ku tuk menelusuri jejak yang membuatku nyaman, lalu perlahan aku lupa akan rumah.

Pergi saat gelap, pulang pun tambah pekat. Rasa lelah yang terkadang ku tampakkan ketika kubuka pagar rumah, lalu perlahan masuk menuju rumah. Kau hanya sekedar khawatir, khawatir layaknya seorang ibu, yang ingin memastikan anaknya selalu dalam lindungan yang “Maha Kuasa”.tanpa ku sadar, nada tinggi yang kukeluarkan untuk membalasnya, kau pun semakin naik darah, dan kita, akhirnya terdiam masing-masing di keheningan malam. Mengeluas dada masing-masing, merasakan sakit masing-masing. Tapi sakit ku, kurasa tak sebanding dengan sakitmu, yang selalu menungguku di depan pintu, atau duduk di sofa lalu tertidur karena lelah menungguku pulang. Tertidur dengan hati yang tak tenang, meski mata terpejam, yang rupanya hanya tuntunta tubuh yang kini mulai memasuki masa senja.

“kamu kapan liburnya nak, sabtu minggu pun kau masih saja pergi. Tak ada waktukah sedikit? Setidaknya temanilah adik tuk hari ini saja. adikmmu akhir-akhir ini sering bertanya, kapan kau libur dan kapan kau pulang”
Oh Tuhan. Mematung aku dengan kalimat itu.
Adikku kini bahkan diam-diam merindukan kakaknya yang terlampau sibuk dengan dunianya. Meninggalkan rumah, lalu pulang di malam gelap, sedangkan ia sedang tertidur lelap.  Ibuku yang berbaring di sampingnya, memeluknya dengan hangat, persis seperti aku kecil dahulu. Ya, itu dahulu saat aku menjadi putra kecilnya yang nakal,menggelayut mesra di pelukan ibu, atau tertidur pulas di pangkuannya yang hangat dan penuh cinta, sambil sesekali aku memegang rambut ibu yang halus dan harum. Dan kini perubahan terjadi,rambut itu perlahan memutih, mulai dari pangkalnya yang memudar warnanya, yang kulihat saat merepas  jubah sesaat ia selesai salat, dengan iringan doa yang panjang. Yang berisi tentang keluarga dan anak-anaknya.

Tuhan. Sudah berapa lama aku tak memperhatikannya, seolah acuh aku padanya. Melihat warna putih yang mulai muncul padanya, mulai muncul rasa takut kehilanganku akan sosok dirinya.
Sosok wanita yang akan ku cinta sepanjang masa. :*

-------------------------------------------------
Di tulis dengan cinta, oleh anakmu
27, Januari, 2013
21.22

0 komentar:

Posting Komentar

Open Panel

anda pembaca ke